visit us: www.m.bagimunegeri.com
Kebanyakan orang Kristen, paling sedikit dalam pikirannya, memiliki pengertian bahwa tidak ada yang mustahil di dalam Kristus... atau segala sesuatu dimungkinkan di dalam Dia. Kita tahu bahwa Ia memberikan kepada kita kuasa untuk hidup berkemenangan, dan kita percaya bahwa semua yang lama sudah berlalu... yang baru sudah terbit... segalanya menjadi baru. Namun, setelah pengalaman pertobatan, dan setelah 'digodok' dalam seminar-seminar Kristen, kebaktian kebangunan rohani dan program-program pemahaman Alkitab, banyak di antara kita yang menemukan bahwa kehidupan-pikir kita masih saja seperti sebelumnya... penuh dengan pikiran-pikiran kotor, berdosa dan nista.
Kita membandingkan apa yang kita ketahui tentang bagaimana seharusnya kehidupan kita dengan keadaan diri kita sebenarnya... dan akibatnya kita tertekan... lalu kita akhirnya percaya bahwa praktek dosa dalam kehidupan ini adalah hal yang tidak bisa dielakkan dan bahwa kehidupan berkemenangan memang merupakan gagasan yang hebat namun hanya dimungkinkan kelak di surga... atau suatu ketika di masa yang akan datang... entah kapan...
Aku ingin Anda mencamkan hal ini dengan baik: Bagaimanapun kehidupan yang semakin berkemenangan atas dosa adalah hal yang bisa dialami dan seharusnya dialami dalam kehidupan kita baik dalam pikiran, ucapan ataupun tindakan kita. Yesus datang ke dunia ini, lalu mati dan bangkit kembali untuk mematahkan kuasa dosa sekali tuntas untuk selamanya. Anugerah untuk mengalahkan dosa pertama-tama harus bekerja dalam pikiran kita, kemudian kemenangan barulah bisa terwujud dalam tindakan kita sehari-hari.
Dalam Roma 12:2 Paulus berkata, "janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu..." Kata "pembaharuan" menunjukkan adanya suatu proses. Ketika kita bertobat, Allah memberikan kepada kita roh yang baru, namun hal itu bukan berarti pada saat itu kita segera dewasa dalam Tuhan. Saat itu kita diselamatkan dan diberi roh yang baru, namun bukan berarti kita langsung dewasa. Lalu bagaimana? Pada saat itu Roh Allah berinteraksi dengan roh kita dalam rangka membangun tabiat Kristus dalam diri kita. Dimulailah suatu perkembangan tabiat ilahi... sebagai suatu proses yang akan berlanjut terus sepanjang hidup kita.
Dalam kehidupan sehari-hari kita terus-menerus memakai kehendak dan pikiran kita dalam mengambil keputusan dan menanggapi suasana-suasana kehidupan. Urutannya yang umum kira-kira seperti ini: Kita berpikir tentang suatu hal - pikiran-pikiran itu membentuk sikap kita terhadap fokus kita itu - pikiran-pikiran itu plus sikap kita menghasilkan tanggapan emosional - lalu kita bertindak berdasarkan apa yang telah kita pikirkan.
Allah menciptakan kita sedemikian hingga tindakan-tindakan kita mengikuti pikiran-pikiran kita. Banyak ayat dalam Alkitab yang memaparkan prinsip ini. Contohnya Yeremia 11:8 berkata, "mereka tidak mau mendengarkan ataupun memperhatikannya, melainkan mereka masing-masing mengikuti kedegilan hatinya yang jahat." Dalam ayat ini Allah sedang berkata tentang suatu bangsa yang memberontak. Ia menyatakan bahwa mereka bertindak mengikuti apa yang mereka bayangkan dalam pikiran mereka. (Dalam bahasa Ibrani maupun Yunani, kata "hati" selalu berhubungan dengan fungsi pikiran).
Dalam Amsal 23:6-7 terdapat pernyataan yang lebih jelas, "Jangan makan roti orang yang kikir, jangan ingin akan makanannya yang lezat. Sebab seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia." Sungguh sebuah amsal yang bijaksana yang memaparkan inti dari tindakan-tindakan luar dengan menyingkapkan bahwa seperti apa pikiran kita maka seperti itulah diri kita.
Kita teramat sering menilai kekudusan seseorang dengan melihat bagaimana tindak-tanduknya di gereja. Namun setiap orang tentunya dapat terlihat kudus dalam acara kebaktian penyembahan dan doa. Bobot "kekudusan" kita akan lebih tepat terukur ketika kita berbaring sendirian di tempat tidur pada tengah malam dalam kegelapan... kala kita sendirian dengan pikiran-pikiran kita. Apa yang kita pikirkan kala tidak ada seorangpun di sekitar kita yang bisa membaca kesan tentang diri kita? Kemana khayalan-khayalan kita membawa kita pada saat itu? Apakah kita terlena dalam angan-angan yang sensual atau demi kepuasan diri sendiri? Apakah pikiran kita melaju dalam kritik dan rencana balas-dendam terhadap sesama? Apakah kita merindukan kedudukan atau harta milik yang Allah tidak kabulkan? Bila ya,maka kita sedang membawa diri kita berjalan menuju kekalahan.
Kegagalan mendisiplin pikiran akhirnya akan membuat kita terikat pada kebiasaan-kebiasaan berpikir dan bertindak yang buruk. Pikiran-pikiran keliru yang kita nikmati selama kurun waktu tertentu selanjutnya akan lebih mudah menempati pikiran / imaginasi kita.
Bayangkanlah seorang petani menyetir traktornya pada jalan tanah. Ketika tanahnya masih baru dan permukaannya rata, petani bisa menyetir traktornya melintas bebas dari sisi yang satu ke sisi yang lain dengan mudah. Namun bila petani itu terus-menerus hilir-mudik menapak tempat yang sama, maka akan terbentuk alur pada permukaan jalan itu sehingga ia akan semakin sulit untuk menyetir traktornya dengan bebas. Akhirnya jalan itu tidak akan rata, dan lekukan akan semakin dalam sehingga ban traktor akan terselip mengikuti alur tersebut dengan sendirinya.
Seperti halnya gambaran di atas, bila seseorang terus-menerus berkubang dalam pola-pola pikiran berdosa, maka segera ia akan lebih mudah membiarkan pikirannya "jatuh ke dalam alur"... dan lebih sulit baginya untuk membawa pikirannya ke jalan yang benar. Jika seseorang tidak mempedulikan keyakinan yang diberikan Roh Kudus dalam hatinya dan terus-menerus membiarkan pikirannya berkelana dalam kubangan dosa, maka ia akan menuai akibat-akibat dari kebiasaan kedagingannya.
Beberapa tahun yang lalu aku membimbing seorang pemuda yang ditolak oleh kedua orang tuanya sebab ia lahir karena "kecelakaan". Sejak lahir, ungkapan yang diterimanya selalu bernada penolakan, "Kami tidak menginginkan kamu". Kehidupannya dipenuhi oleh pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan sehingga ia berlari dari kenyataan dengan hidup dalam dunia fantasi yang diciptakan oleh imaginasinya sendiri.
Dalam dunianya ini ia adalah seorang pahlawan yang gagah perkasa. Ketika menanjak dewasa, gairah seks memasuki dunia fantasinya. Pada titik ini, kehidupan berpikirnya beranjak ke dunia dusta yang penuh kenikmatan seks. Pemuda ini menghabiskan mayoritas waktunya dengan mencekoki pikirannya dengan gambaran-gambaran pikiran yang bersifat seksual. Akhirnya ia mencoba memuaskan nafsunya dengan pornografi. Seperti petani yang menyetir traktor, baginya semakin mudah untuk membiarkan pikirannya mengikuti alur-alur itu daripada membawa pikirannya keluar dari pikiran-pikiran itu. Kebiasaannya menghasilkan ikatan / belenggu.
Setiap minggu aku berbincang-bincang dengan orang-orang Kristen yang, seperti halnya pemuda tadi, juga amat sulit mengendalikan pikirannya. Ada yang dikejar ketakutan, dan terus-menerus dicekam oleh pikiran-pikiran kuatir. Mereka kuatir terhadap kemungkinan menghadapi tindakan kriminal, kuatir terhadap penolakan, takut kalau-kalau gagal, kuatir ancaman nuklir...
Yang lain terbius oleh kepahitan karena menfokuskan pikiran kepada seseorang yang pernah mengkhianati atau menghalangi keinginan mereka. Pikiran balas dendam menghasilkan perasaan yang pahit. Seperti dikatakan oleh para dokter ahli, orang seperti ini mungkin akan lebih mudah terjangkit penyakit karena kebenciannya, juga menjadi tawanan kecurigaan dan iri hati. "Antena emosi" mereka selalu mencari "berita-berita" yang menegaskan kecurigaannya.
Titik permasalahannya adalah: Kehidupan berpikir merupakan fondasi dimana tindakan-tindakan kita dibangun. Inilah prinsip di balik ucapan Yesus dalam Matius 5:27-28, "Kamu telah mendengar firman: jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia dalam hatinya." Di hadapan Tuhan, menikmati pikiran perzinahan dengan sendirinya merupakan suatu bentuk perzinahan. Membiarkan pikiran Anda berkelana ke arah yang salah akan menuntun kehidupan Anda ke jalan yang salah.
Bila tiba pada masalah mendisiplin pikiran, tampak adanya sikap apatis di antara orang Kristen. Orang-orang tertentu lebih suka terjun ke hal-hal yang "lebih rohani" dalam kehidupan Kristen dan membungkam / meniadakan pembahasan mengenai mengendalikan pikiran ini karena menganggapnya sebagai tipu daya sejenis cara berpikir positif. Ada juga orang-orang yang menganggap bahwa pikiran-pikiran kita bukanlah hal yang terlalu penting selama Anda sanggup mengikuti petunjuk "mana yang boleh" dan "mana yang terlarang" dalam tindakan-tindakan luar kita. Orang yang beranggapan seperti ini sebenarnya sedang membodohi diri sendiri. Kegagalan mengendalikan pikiran-pikiran kita mengakibatkan kehidupan yang kosong dan tidak stabil, dan kehidupan yang berkemenangan serta penuh sukacita tidak akan pernah terwujud.
Jadi apa yang harus kita lakukan untuk memperoleh kemenangan dalam peperangan demi pikiran kita? Pertama, aku ingin menunjukkan sebuah fakta yang jelas: Allah dapat membaca pikiran kita. "...sebab Tuhan menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita..." (1 Tawarikh 28:9). "Tuhan mengetahui rancangan-rancangan manusia" (Mazmur 94:11). Tak ada yang tersembunyi. Tak ada yang rahasia. Ada Satu Pribadi yang selalu melihat. Sungguh suatu pemikiran yang bijaksana dan seharusnya meyakinkan kita bahwa apa yang kita pikirkan dapat merupakan hal yang menyenangkan hati Allah atau menyedihkan Dia. Apa tanggapan hati Allah Bapa terhadap pikiran-pikiran Anda?
Konsep inti lainnya kita temukan dalam Matius 6:34. Yesus berkata, "Jangan kamu kuatir akan hari esok." Pikiran kita paling banyak terfokus ke masa silam atau masa depan kita. Orang yang kuatir terus-menerus berpikir tentang kemungkinan kegagalan atau kerugian di masa mendatang. Kehidupan berpikirnya terpusat pada "apa yang akan terjadi bila..." Orang yang berkubang dalam masa silamnya sering mengisi pikirannya dengan kenangan-kenangan manis atau pengalaman-pengalaman pahit masa lampau. Bila kita menjamu atau menjejali pikiran kita dengan gambar-gambar atau kenangan-kenangan kepahitan masa silam, maka emosi kita akan mulai mengalami kepahitan pengalaman tsb. Masa silam akan mengikat kita... ya, mempengaruhi dan menodai hubungan dalam pergaulan kita sekarang meskipun pengalaman pahit itu terjadi empat puluh tahun yang lalu.
Ketakutan yang bersifat kekuatiran dan keraguan adalah musuh-musuh iman yang juga menghambat pertumbuhan rohani. Yesus tahu kehancuran yang diakibatkannya atas kehidupan seseorang. Tepat sebelum memperingatkan tentang kekuatiran, Ia berkata, "carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya" (Matius 6:33). Kerajaan Allah adalah subjek / pokok yang layak Anda pikirkan. Subjek pikiran Anda bukan kekuatiran.
Kawula muda yang berjam-jam tenggelam dan mengisi pikirannya dengan musik yang tidak merawat jiwanya sebenarnya sedang membodohi diri bila ia berkata bahwa ia tidak mendengarkan liriknya, hanya iramanya. Mengapa? Karena memang tidak mungkin. Sekali Anda mendengar, beritanya dikirimkan ke otak dan direkam dalam memori Anda. Coba simak kejadian ini. Anda mendengar musik komersil atau iklan suatu ketika di suatu tempat. Anda menyimaknya sepintas... lalu empat jam kemudian tanpa disadari Anda bersenandung dan menggumamkan iklan yang sama.
Segala yang masuk ke dalam pikiran kita benar-benar mempengaruhi kita, meskipun saat itu kita tidak menyadarinya. Pikiran kita seperti busa. Apa yang diserap oleh busa akan keluar bila busa itu diperas. Yang masuk sampah, maka yang keluar sampah juga. Yang masuk kebenaran, maka yang keluar kebenaran!
Kita tahu dalam pernikahan hal seperti ini merupakan kasus tragis. Seorang suami berkata kepada isterinya, "Aku cinta kepadamu, sayang.", namun ia tetap berkubang dalam pikiran-pikiran menyeleweng. Bila ia mengijinkan pikiran-pikiran ini masuk dan bercokol, maka ia akan merasakan semakin meningkatnya dorongan untuk benar-benar melaksanakan ketidaksetiaannya dalam wujud nyata. Mungkin memakan waktu bertahun-tahun. Namun pada saat mengalami tekanan atau pencobaan, maka tindakan-tindakannya akan tepat sejalan dengan pikiran-pikirannya. Tekanan, krisis, pencobaan merupakan cara memerah. Saat itulah semua yang terpendam akan tercurah keluar.
Dalam membahas mengenai pencobaan, marilah kita melihat sejenak dalam Yakobus 1:14-15, "Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut."
Selama pencobaan selalu ada waktu untuk berhenti dan berpikir tentang konsekuensinya, baik konsekuensi bila kita menyerah kepada Allah, maupun konsekuensi bila kita menyerah kepada keinginan sendiri. Seringkali pencobaan melintas dalam pikiran kita ketika kita hanya ingin bersenang-senang tanpa hasrat untuk berbuat dosa. Pencobaan sendiri bukan dosa, namun bila kita berhenti dan merenungkannya, seringkali kita mengakhirinya dengan memaklumi dosa dengan merasionalisasinya. Kita mulai "dipikat" (dalam bahasa Yunani arti kata ini adalah "ditipu"). Namun perhatikanlah: kita dipikat oleh keinginan / nafsu kita sendiri. Kata keinginan / nafsu sendiri ini pengertiannya sederhana: keinginan yang kuat. Pentas pencobaan sudah siap bila keinginan-keinginan kita akan hal-hal yang tidak diperkenanNya sudah kuat.
Setan memang cukup pandai sehingga ia mencobai kita kala kita lemah. Setan bukanlah pencipta; sebaliknya ia adalah perusak. Ia pandai memanfaatkan apa yang ada dan memutarbalikkan fungsinya dengan tepat. Dosa yang tidak dibereskan mengijinkan si musuh menjejakkan kakinya sehingga ia dapat memusatkan serangan-serangannya. Dalam menghadapi pencobaan, tanggapan kita seharusnya meliputi tiga unsur ini: 1).Tunduk kepada Allah (Yakobus 4:7a) dengan menanggapi keyakinan tentang dosa yang diberikan dalam hati kita. 2).Lawanlah iblis (Yakobus 4:7b) dengan mengambil otoritas atas iblis, dan 3). Larilah / hindarilah pencobaan dan kejarlah kebenaran (1Timotius 6:11; 2 Timotius 2:22).
Yang perlu kita ingat: kita tidak dapat lari dari sesuatu yang masih kita simpan dalam pikiran kita. Anda tidak bisa sekadar mengosongkan pikiran itu atau bergumul melawan pikiran itu. Anda perlu mengganti pikiran atau gambaran yang dipentaskan dalam imaginasi Anda dengan pemikiran-pemikiran yang akan merawat jiwa Anda serta mengangkatnya makin dekat dengan Allah. Contohnya: mengingat ayat Alkitab atau lagu favorit, atau menyampaikan doa syukur yang spontan... ya, syukur atas setiap kebaikan yang bisa Anda ingat.
Dalam Firman Allah ada sejumlah perintah yang menuntun kita dalam rangka mendisiplin pikiran kita. Filipi 4:8 berkata, "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." Anda tidak harus memaksa pikiran Anda, tetapi biarkanlah pikiran Anda merenungkan / menyimak semua itu. Ayat ini meringkas standar ilahi mengenai kehidupan berpikir kita dengan memberikan delapan segi "acuan-pikir" sbb:
Allah merancang pikiran kita sehingga pikiran kita tumbuh dan berkembang bila pikiran kita diberi makan dengan hal-hal yang tepat dan benar. Namun bila kita membuat pikiran kita jenuh dengan pemikiran-pemikiran yang tidak memenuhi standar Allah yang mulia, maka pikiran kita mulai bereaksi merugikan. Pikiran kita memang tidak dirancang untuk menampung sampah.
Tiap hal yang kita alami terekam dalam memori kita. Bila sehari-harinya pengalaman hidup kita ini negatif dan hanya memuaskan diri, maka timbunan memori ini dapat memiliki pengaruh yang kuat atas keadaan kita sekarang. Jadi berusaha menghapuskan efek-efek dari pengalaman-pengalaman seperti itu merupakan hal yang penting.
Salah satu cara untuk mendukung proses ini kita sebut sebagai prinsip penipisan atau pencairan. Misalnya sebuah truk yang mengangkut bahan beracun mengalami kecelakaan di jalan bebas hambatan. Seorang petugas khusus dipanggil untuk membersihkan racun dari daerah itu. Agar dapat membersihkan seluruhnya dari kontaminasi, maka segala sesuatu yang terkena racun termasuk kotoran dan debu di jalan itu harus diangkut bersih. Lalu sebagai gantinya, di daerah yang terkontaminasi racun itu disemprotkan cairan untuk menipiskan pengaruh racun dan menetralkan bahayanya.
Sejalan dengan hal di atas, kita dapat menangkal / melawan efek-efek beracun dari masa lalu kita dengan cara "mencairkan" dan menutupnya dengan Firman Allah. Dalam Efesus 5:26 dikatakan bahwa Yesus menyucikan Jemaat, "...Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman..." Kala kita merenungkan Firman Allah dan bertindak sesuai denan apa yang kita pelajari, maka kita akan menerima pembersihan dan pemurnian. Disiplin merenungkan Alkitab dan menghafalkan ayat-ayat merupakan cara penting yang bukan hanya membawa pemurnian dan pembersihan, tetapi juga membantu kita untuk tetap hidup sebagai orang Kristen dengan sepenuh hati.
Petunjuk kuat lainnya terdapat dalam 1 Petrus 1:13, "Sebab itu siapkanlah akal budimu, waspadalah dan letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih-karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu penyataan Yesus Kristus." Bersiap-siaga! Seseorang yang akan terlibat dalam perang tidak terjun ke kancah perang dengan iseng-iseng dan pasif saja. Ia mengusahakan persiapan dirinya sebaik mungkin agar bisa meraih kesempatan untuk menang secara maksimal. Mempersiapkan pikiran mencakup kewaspadaan. Artinya dalam pikiran kita siap siaga menetapkan hati dengan gigih. Jangan puas hati dengan meraih sebagian kemenangan.
Petrus juga berkata, "...letakkan pengharapanmu seluruhnya atas kasih-karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu penyataan Yesus Kristus." Ibrani 12:2 berkata, "...dengan mata yang tertuju kepada Yesus..." Menetapkan hati dan pikiran artinya memusatkan atau mengarahkan hati dan pikiran. Aku percaya bahwa cara utama untuk mendisiplin pikiran kita adalah dengan belajar memusatkan pikiran kita kepada Allah dan FirmanNya. Dari Firman-Nya kita mengenal Allah, jalan-jalan-Nya dan sifat-sifat-Nya. Semakin Anda merenungkan firman-Nya, maka Anda akan semakin ditarik dekat dengan-Nya. Kala hati kita semakin dekat serta terarah kepada Kristus serta semakin jauh dari keakuan diri sendiri, maka semakin besar ketidakpuasan dalam diri kita bila ada hal-hal yang mengalihkan pandangan kita dari Dia.
Inti masalahnya adalah: Ada peperangan demi memenangkan pikiran kita, dan kita tidak dapat hanya menjadi pengamat pasif dengan menganggap bahwa Allah akan mengurus semuanya dan sementara itu kita tidak mengerjakan apapun. Allah sedang mengerjakan bagian-Nya dalam meyakinkan kita, menyingkapkan pikiran serta membawa kesembuhan bagi kita. Ia memberikan diri-Nya demi membawa kita kepada kemenangan bila kita mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya. Inilah saatnya kita berperang dalam aksi yang agresif.
2 Korintus 10:5 menyatakan bahwa kita harus "menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus..." Firman Allah tidak memberi kita ijin untuk tidak membaharui pikiran. Persenjataan-persenjataan rohani tersedia bagi kita. Persenjataan itu tidak ada artinya bila tidak kita gunakan. Kemenangan akan diraih dengan kita menyerahkan diri kepada Firman Allah dan Roh-Nya. Allah maha mampu mengatasi setiap taktik musuh yang ditujukan untuk menyerang kita. Apakah kini Anda mau menanggapi ketentuan-Nya dengan meraih persenjataan Anda dan menetapkan hati untuk berperang hingga mencapai kemenangan demi Yesus? ***
Denny Gunderson adalah direktur Youth with a Mission untuk daerah Amerika Serikat Barat Laut. Beliau mengajar di Amerika Serikat, Amerika Selatan, Asia dan Eropa. Denny, istrinya Dodie dan putri mereka Tanya tinggal di Tacoma, Washington.
Sumber: Gunderson, Denny. 1985. "The Theatre of Your Mind, What's Showing". Lindale, Texas, USA: Last Days Ministries. Kode LD#73.