visit us: www.m.bagimunegeri.com
Kami berdiri di sisi ranjangnya. Terbayang dalam ingatanku saat ia sedang menggendong putranya yang berambut lebat itu. Ibu yang malang ini sedang menangis sedih, dan sementara itu aku termenung dengan sejuta jawaban atas masalahnya dalam pikiranku. Namun bagaimana aku dapat ikut merasakan kepedihan hatinya?
Aku tahu bahwa Yesus dapat merasakannya, namun aku tidak dapat. Ketika itu aku baru saja mengandung anak pertamaku. Ah, putranya yang berusia 3 tahun baru saja meninggal dunia, tenggelam dalam sebuah kecelakaan... dan hati sang ibu amat remuk.
Aku juga tidak tahu bahwa 4 tahun kemudian, putra yang kukandung hari itu, juga meninggal dunia dalam usia 3 tahun... dan bersamanya juga pergi putriku yang berusia 2 tahun... bersama suamiku... dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang... dan akulah orang yang hancur hatinya saat itu. Barulah setelah peristiwa itu aku dapat memahami kepedihan hati temanku ini. Barulah setelah itu aku mengerti hikmat Allah dalam menahanku dari sekadar memberi jawaban-jawaban mudah atas bencana yang dihadapi temanku ini. Kadang-kadang kusadari bahwa memang tidak ada jawaban sama sekali.
Ada banyak hal yang membuat hati manusia terluka, patah dan remuk: kematian, perceraian, penolakan, penyakit, pelecehan seksual, dosa, ketidakadilan, kegagalan... dst... dst... masih banyak lagi. Suatu saat setiap orang akan mengalami kehancuran hati. Ada yang tidak pernah sembuh secara utuh lagi. Aku yakin Tuhan pernah memakai anda dalam melayani mereka yang terluka hatinya, namun aku percaya Ia ingin dapat memakai anda lebih baik lagi. Mungkin sebaiknya kuungkapkan begini: Ia ingin membuat anda "lebih mampu menghibur", atau lebih baik dalam memberikan penghiburan... selimpah Ia memberikannya.
Membalut hati yang remuk. Hal ini merupakan bagian dari keberadaan kita sebagai orang Kristen. Meskipun demikian, betapa seringnya kita merasa tidak mampu menghibur ketika kita dihadapkan pada tragedi yang dialami seseorang. Seringkali kita merasa canggung berada di sekitar mereka yang sedih, remuk dan terluka. Kita ingin menghibur mereka, namun benar-benar tidak tahu caranya. Sering kita kehilangan kata-kata atau... dengan perhatian penuh malahan kita menghamburkan kata-kata yang seharusnya justru kita / mereka ingin kita tidak ucapkan. Kita ragu-ragu apakah kita seharusnya berbicara tentang kesukaran-kesukarannya atau jangan. Dan yang teramat sering terjadi adalah kita akhirnya tidak melakukan apapun karena kita merasa tidak cukup mampu... karena kita berpikir bahwa kita seharusnya memiliki jawaban-jawaban yang tepat... atau ayat-ayat yang tepat... sebelum Allah dapat memakai kita untuk menghibur mereka.
Aku telah melewati situasi-situasi amat sulit dan pedih dalam beberapa tahun terakhir ini, dan aku amat bersyukur kepada Allah atas anugerah-Nya, dan berterimakasih kepada umat-Nya. Di sini aku ingin menuliskan kisah hidupku itu karena mungkin anda belum mengetahuinya.
Pada tahun 1973 aku menikah dengan Keith dan pada tahun 1975 kami menjadi orang Kristen. Pada tahun 1977 kami mendirikan Last Days Ministries dan dalam tahun yang sama aku mengalami keguguran anak pertamaku. Kemudian pada tahun 1982, Keith dan dua orang anak kami, Josiah (3 tahun) dan Bethany (2 tahun) meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat kecil yang mereka tumpangi. Aku ditinggal bersama puriku Rebekah Joy, dan tanggungjawab atas sebuah pelayanan yang baru saja tumbuh. Ketika itu aku sedang mengandung 6 minggu, yakni mengandung putriku Rakhel Hope. Lima tahun berikutnya merupakan saat-saat yang penuh aktivitas, penyesuaian diri dan kesukaran-kesukaran dari masalah hukum sekitar kecelakaan pesawat ini, penyidikan dan tuduhan-tuduhan atas pekerjaan-pekerjaan pelayanan menentang abortus, serangan-serangan si musuh, dan lebih dari itu adalah bencana tornado di Texas yang merusak bangunan-bangunan pos pelayanan Last Days Ministries.
Aku bersyukur kepada Allah yang limpah kasih setia dalam tiap situasi yang kuhadapi... namun melewati api tidak pernah enak bagi siapapun! Kadang-kadang ketika aku merasa tidak berdaya lagi, Tuhan memakai orang-orang-Nya dalam hikmat dan kedewasaannya untuk mencurahkan kembali kuasa kebangkitan-Nya ke dalam hatiku. Dalam cara-cara mereka menolongku ini, aku melihat apa yang disebut berbuah baik dan apa yang bukan. Dalam kerangka pengamatan ini, sejalan dengan prinsip-prinsip Alkitab, aku ingin membagikan beberapa hal dalam artikel singkat ini.
"Demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain." (Roma 12:5). Allah menciptakan tubuh manusia secara unik. Bila terluka di suatu bagian, maka seluruh sistem tubuh akan siaga. Darah mengalir ke bagian tersebut dan seluruh sistem tubuh terpusat untuk bekerja di situ. Proses penyembuhan segera terjadi. Aku percaya tepat seperti itulah Allah inginkan Tubuh Kristus (jemaat) menanggapi bila ada yang terluka.
Yesaya 61:1 mengukir gambaran hati Allah yang amat kuat, "Roh Tuhan Allah ada padaku, oleh karena Tuhan telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati..." Kata "merawat" di sini mempunyai arti melakukan pekerjaan membalut luka lalu mengikatnya dengan terampil dan hati-hati. Perlu waktu yang cukup jika anda ingin membalut luka dengan baik. Di zaman ini kita bisa membeli plester perban yang mengandung obat yang dikemas mungil dan praktis. Namun tidaklah mungkin kita menggunakannya untuk luka yang lebih besar. Karena kita hidup dalam masyarakat yang "serba cepat", kadang-kadang kita menolak kenyataan bahwa untuk sembuh diperlukan waktu dan perawatan yang teliti dan utuh. Meskipun demikian, kita perlu memeriksa lukanya sebelum memutuskan dan memilih jenis perawatan apa yang diperlukan.
Ketika berpikir tentang menjadi radikal, kita seringnya berpikir untuk memiliki iman, keberanian, komitmen atau semangat yang radikal. Namun janganlah melupakan belas kasihan dan anugerah yang radikal. Belas kasihan dan anugerah yang radikal inilah dasar Yesus mati di kayu salib itu untuk menebus kita. Benar-benar anugerah. Setiap orang Kristen pernah mengalami anugerah Allah yang menakjubkan ini. Hal yang membuatnya menakjubkan adalah amat radikalnya anugerah ini! Tidak seorangpun layak menerima belas kasihan yang diterima olehnya.
Yesus diurapi untuk membalut / merawat hati yang luka, namun kita sering merasa sulit untuk mengasihi satu sama lain kala kita melihat adanya kelemahan atau dosa dalam diri seseorang. Ada kalanya lebih mudah untuk percaya bahwa Allah akan menyucikan, menyembuhkan dan memulihkan seorang pendosa yang amat jahat, ketimbang percaya hal yang sama Ia lakukan terhadap saudara atau saudari seiman kita. Tetapi kita tidak bisa tidak konsisten. Ketika kita sendiri berdosa, maka kita memohon dan berharap akan belas kasihan Allah. Namun ketika seseorang lain berdosa, pikiran kita sering penuh penghakiman. Bacalah peringatan dalam Yakobus 2:13 "sebab penghakiman yang tak berbelaskasihan akan berlaku atas orang yang tak berbelaskasihan. Tetapi belas kasihan akan menang atas penghakiman."
Allah selalu mempunyai tujuan-tujuan penebusan - bahkan ketika dosa terlibat. Musa pernah menjadi pembunuh. Daud berbuat zinah, lalu seorang lain dibunuh untuk menutupi dosanya. Kita akan membuang orang seperti ini dengan mudah. Namun renungkanlah sifat Allah yang ingin menebus mereka dalam situasi-situasi yang tragis dan nista ini. Ketika mereka melihat dosanya dan bertobat, Allah bekerja dalam diri mereka dan mengasihi mereka sehingga Ia membuat hidup mereka berbuah sebagai pemimpin-pemimpin pilihan bagi umat-Nya. Hal ini tidak terwujud dalam semalam, namun terjadi karena mereka telah teruji dan karakter serta kedewasaan mereka telah terbukti. Sulit membayangkan seperti apakah Alkitab tanpa inspirasi dan teladan dari Musa dan Daud.
Si musuh adalah "pendakwa saudara-saudara kita". Ketika seseorang berdosa, iblis ada di sisinya untuk meyakinkan orang itu bahwa Allah sudah tidak berdaya lagi dalam membina dirinya. Karena itulah kita perlu mendukung orang ini dengan semangat dan harapan; menyatakan bahwa ia akan dapat mengatasinya, bahwa kita percaya ia akan sanggup, dan bahwa pekerjaan Allah dalam membina hidupnya belumlah selesai. Kita juga perlu membantu mereka berjalan dalam langkah-langkah yang perlu diambilnya, mungkin dalam hal menuntun kepada pertobatan, pemulihan, pengakuan atau disiplin gereja, dengan tujuan pemulihan dan penyembuhan... sesuai cara dan waktu Allah. Banyak hal akan tergantung pada kemauan mereka dalam melihat dosanya, dan seberapa tanggapan mereka kepada Allah. Ketika Yunus lari dari titah Allah, ia berakhir di perut ikan besar. Namun ketika Yunus bertobat, Allah membebaskannya dan memberikan titah yang sama untuk kedua kalinya. Kita melayani Allah yang mau memberikan kesempatan.
Allah adalah penebus dan penyembuh. Ada janji yang menakjubkan dalam Yesaya 42:3, "Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar tidak akan dipadamkannya..." Marilah kita bersikap lembut terhadap mereka yang terkulai dan pudar di dunia ini, tidak peduli seberapa remuknya keadaan mereka. Musuh ingin mematahkan dan memadamkan mereka. Allah ingin menyembuhkan mereka.
Jika seseorang terluka karena keputusan atau pilihan keliru yang diambilnya, kita seringkali takut untuk menunjukkan rasa simpati kita kepadanya, karena kita berpikir jangan-jangan kita dianggap mentolerir dosanya juga. Yesus tidak memiliki ketakutan seperti ini."Sebab Imam Besar yang kita punya bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa" (Ibrani 4:15). Jika Yesus yang tanpa dosa dapat bersimpati dengan kita.dan turut merasakan penderitaan-penderitaan kita, maka lebih lagi kita seharusnya juga bersikap sama satu dengan yang lain.
Luka dan kepedihan merupakan bagian dari pertumbuhan. Tingkah laku putri-putriku memberi gambaran ini. Usahaku "menghibur" mereka karena berpikir mereka terlalu perasa dan dengan demikian mereka harus mengabaikan perasaannya yang berlebihan menurut anggapanku, dengan berkata seperti membuat lelucon untuk mengalihkan perhatian mereka, atau berkata seperti "Oh, kelihatannya 'kan tidak terlalu sakit", justru sering membuat mereka menangis lebih keras karena mereka ingin membuktikan bahwa mereka benar-benar sedang kesakitan.
Belakangan aku mulai mengakui kesakitannya tidak peduli seberapa ringan sakitnya menurut anggapanku. Dengan sederhana aku berkata, "Kelihatannya sakit, ya" atau "aku ikut sedih, sayang"... dan hal ini membuat mereka reda. Rupanya di balik kesakitannya, mereka ingin tahu bahwa aku, ibunya, memperhatikan mereka dan mempercayai bahwa mereka terluka. Bukankah kita juga seperti itu? Roma 12:15 berkata, "Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!" Jadi ketika seseorang sedang mengalami kepedihan, janganlah menganggapnya enteng dan berusaha agar mereka segera meninggalkan perasaan pedihnya. Lebih jelek lagi kalau anda berkata bahwa seharusnya mereka tidak pedih. Hal seperti ini hanya akan seperti membubuhkan cuka pada luka terbuka. Kita harus mengenal dan memahami realita kepedihan mereka, entah kita anggap hal itu benar-benar berat atau tidak. Kita bukan ditugaskan sebagai hakim untuk menilai perasaan-perasaan mereka, melainkan sebagai orang yang menuangkan minyak penyembuh pada bagian-bagian yang terluka.
Ketika kita sedang menghibur seseorang, kita harus berpikir bagaimana perasaan kita bila kita sendirilah yang berada pada situasi yang sama seperti yang dialami rekan yang kita hibur, lalu kita pikirkan bagaimanakah kita ingin diperlakukan pada keadaan seperti itu. Bila ada dosa dalam masalah ini, ingatlah bahwa kita pun bisa jatuh. Alkitab berkata bahwa "hanya pencobaan lazim" berlaku atas kita. Kita dapat menemukan akar dosa dalam suatu situasi dan mengenali / memahaminya lewat kehidupan kita sendiri. Contohnya, akar dosa perzinahan bisa jadi adalah nafsu; akar dosa aborsi bisa jadi adalah mementingkan diri sendiri. Adakah orang yang belum pernah dicobai oleh nafsu dan keegoisan? Dengan anugerah Allah, memang kita berharap tidak akan jatuh. Dengan cara mengenali akar dosa dalam kehidupan kita, maka kita dapat membangun jembatan pengertian agar kita dapat mengerti orang lain. Namun jika kita dengan pongah berpikir "Aku tidak akan pernah melakukan dosa seperti itu", maka kita menjadi calon dalam kejatuhan. "Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh" (1 Korintus 10:12). Kita tidak dapat pongah atas suatu dosa yang belum kita perbuat. Setiap orang Kristen sebenarnya adalah orang berdosa yang diselamatkan oleh anugerah Allah yang menakjubkan dan radika!!!
Ketika seseorang berdosa, kita dapat menyodorkan pengertian kita dengan menceritakan pergumulan kita dalam hal sejenis, dan dengan demikian kita menyatakan belas kasihan dan simpati serta pengertian kita. Kita boleh berkata seperti, "Aku mengerti betapa kau dicobai dalam situasi seperti itu... Aku juga bisa saja (atau pernah) mengalaminya." Hal seperti itu bukanlah mentolerir dosa. Justru dengan demikian kita mengulurkan tangan terbuka dan bukan menunjuk-nunjuk dengan jari kita. Dari altar kasih, kita dapat menunjukkan cara-cara perbaikan jika diperlukan.
Jika kita tidak mau mengerti kejatuhan orang lain, maka Allah tidak dapat memakai kita untuk melayani mereka secara mendalam. Mengapa? Karena kita menganggap diri kita lebih baik. Alkitab memakai istilah "membenarkan diri". Ingatlah akan doa pemungut cukai dan orang Farisi itu. "Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu... memukul diri... berkata, Ya Allah, kasihanilah aku orang yang berdosa ini" Lukas 18:10-14. Siapakah di antara mereka yang pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan oleh Allah?
Seringkali kita mendengar seseorang berkisah tentang bagaimana ia diperlakukan tidak adil dan akibatnya ia amat remuk. Pernah kudengar kisah seperti ini, yang membuatku ingin mendatangi orang itu dan mengamuk. Namun kita tidak dapat berbuat kasar seperti itu, seberapapun yang dilakukan si penyebab masalah itu. Jika kita mengamuk terhadap si pelaku, meskipun dengan tujuan untuk membela si korban ketidakadilan, maka kita malahan menjadi masalah baginya.
Ketika duduk mendengarkan dan berdoa dengan mereka, kita ingin menolong mereka agar dapat sepenuhnya dipulihkan kembali. Penting sekali kita mengakui apa yang keliru atau menyakitkan, dan meyakinkan mereka bahwa kepedihan seperti itu dapat kita mengerti mengingat situasi yang dialaminya. Hal ini menolongnya untuk melepaskan rasa bersalah yang mungkin ada bersama dengan kepedihan hatinya. Kita juga ingin melindungi mereka, atau pihak "lawan"nya dari luka lebih lanjut, karenanya kita perlu menjaga ucapan dan sikap kita. Tentunya kita tidak ingin menyuapinya dengan kepahitan dan dendam (yang sedang digumuli orang itu); kita juga tidak ingin mendorongnya untuk melampiaskan kemarahannya seperti yang mungkin direncanakannya. Kita malah ingin mendorongnya untuk berani mengambil tanggung jawab atas perbuatannya, karena jarang sekali perselisihan timbul karena kesalahan satu pihak saja.
Dalam situasi seperti ini kita dapat berkata sederhana, "Kekeliruan memang terjadi dan akibatnya ada yang hatinya terluka. Orang itu mungkin tidak menyadarinya, jadi ia tidak pernah akan minta maaf kepadamu. Tetapi kau perlu mengampuni mereka yang bersalah. Ambillah tanggung jawabmu untuk mengampuni, dan serahkan segalah hal lainnya kepada Tuhan." Tidak seorangpun di dunia ini pernah diperlakukan tidak adil separah yang dialami Yesus, dan Ia mengampuni mereka yang telah semena-mena terhadap-Nya. Untuk mendapatkan kesembuhan total, ia harus sampai pada titik rela mengampuni dan tidak melawan. Kita menolongnya mencapai titik itu.
Baru-baru ini seorang temanku berkata, "Ada orang yang melayani dengan mengisi 'cawan' orang, sementara orang lain justru melubanginya sehingga bocor." Aku terhentak di kursiku, berpikir bahwa pada suatu peristiwa, aku pernah menjadi orang yang menyebabkan kebocoran itu. Pernahkah anda juga mengalaminya? Nyatanya, banyak dari hal yang kubagikan dalam artikel ini kupelajari melewati kesukaran-kesukaran, melalui tersakiti dan... malangnya, juga kadang-kadang melalui menyakiti orang lain. Sebagian masalah timbul karena kita tidak mengerti arti proses dan ketepatan waktu. Kita semua berada pada tingkat yang berbeda dalam rangka menjadi seperti Yesus. Dalam proses ini ada prioritas. Ketika ambulans datang, para dokter dan jururawat tidak tertarik pada siapa penyebab tabrakan. Para dokter berusaha menghentikan pendarahan si korban, membalut luka-lukanya dan menolongnya. Pada saat kritis seperti ini, tidak masalah siapa penabraknya. Pengemudi yang mabuk terbaring berdarah di sisi jalan tidak memerlukan serentetan nasihat. Ia dapat dan akan dinasihati belakangan bila ia bisa tertolong. Mungkin perlu waktu berbulan-bulan terbaring di rumah sakit sebelum ia cukup kuat untuk tampil di ruang pengadilan. Ruang pengadilan dan ambulans memiliki tugasnya masing-masing, namun di sini kita melihat pentingnya masalah waktu. Para orang tua memahami arti ketepatan waktu. Mereka akan segera menelepon ambulans untuk menolong putranya yang terluka sebelum menasihatinya tentang bermain-main di sisi jalan raya.
Namun dalam menghadapi suatu tragedi, kita kadang-kadang menyodorkan lampu sorot dan palu dan bukannya Kotak P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan). Kalau ada dosa terlibat dalam suatu masalah, maka pertobatan memang adalah hal yang penting. Namun kita tidak bisa membiarkan seseorang yang terluka kehabisan darah dulu menunggu lebih lama sampai ia setuju dengan pendapat kita tentang kesalahannya. Bagaimana bila pengemudi "mabuk" yang terkapar di jalan sebenarnya adalah orang yang terkena serangan jantung? Kadang-kadang kesimpulan kita terlalu cepat dan terlalu gegabah -- dan kita keliru. Ayub memiliki teman-teman yang antik. Di tengah musibah itu, mereka datang untuk ikut menangis dan merobek bajunya sebagai tanda ikut berduka. Mereka duduk diam seribu bahasa menemani Ayub selama 7 hari untuk menyatakan rasa ikut berduka atas musibah yang dialaminya. Mereka memulai awal yang baik. Namun dukungan dalam kesenyapan ini akhirnya berubah menjadi tuduhan-tuduhan yang melukai.
Dalam buku "The Healing Choice", Ron Lee Davis berkata, "...ada 2 cara dalam mendampingi orang yang sedang menghadapi musibah: pelayanan pertama, dengan mendampingi orang yang pedih dalam kehadiran yang membisu, dan jenis kedua, adalah mencampuri kemalangannya dengan sembrono dan sikap menghakimi. Ketika seseorang melewati masa-masa sulit, ia mungkin sekali tidak perlu mendengar nasihat-nasihat tambahan, bahkan dari Alkitab sekalipun. Ia hanya perlu kehadiran dan semangat dari seorang teman yang mendampinginya. Pada waktunya Allah, kelak bisa saja ia mendapat hikmah kekal dari pengalaman masa sulitnya ini, namun hikmah ini tidak pernah dapat dipaksakan kepadanya, khususnya pada saat ia sedang di tengah penderitaan yang amat berat."
Setelah suamiku Keith dan anak-anakku meninggal dunia, banyak teman datang mengunjungiku. Seringkali aku berpikir keliru dengan menganggap bahwa aku benar-benar merepotkan mereka. Aku merasa canggung menerima teramat banyak simpati dan perhatian. Namun bila tidak ada teman yang berkunjung, aku merasa kesepian dan terasing, serta depresi memikirkan tidak ada orang yang memperhatikan aku. Sementara mereka duduk di rumahnya, aku berharap ada sesuatu yang dapat mereka lakukan untukku. Ketika seseorang melewati masa-masa sulit, mereka mungkin amat mudah "panas perut" karena mereka tidak dapat berpikir jernih. Mereka tidak tahu apa yang diperlukan oleh dirinya. Karena kita tidak ingin "mengganggu" 'privacy', kita berpikir bahwa jika mereka ingin berbincang-bincang, berdoa atau ditemani, maka mereka akan memintanya. Seringnya justru tidak demikian. Jadi pekalah terhadap kebutuhan orang lain! Jangan malu!
Mazmur 34:19 berkata, "Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya". Kita perlu dekat dengan mereka juga. Meneleponnya dan menyatakan bahwa anda memikirkan mereka, atau bertanya apakah anda boleh mengunjunginya, sudah berarti banyak buat mereka. Anda bisa juga mampir beberapa menit saja. Jika tampaknya mereka sedang tidak ingin ditemani, anda dapat mengunjunginya lain kali.. Seorang temanku baru saja diberitahu dokternya bahwa ia terkena kanker payudara. Beberapa orang dari kami berkunjung untuk memberi semangat kepada dia dan suaminya. Kami berdoa dan menangis bersama dan menemani mereka. Hal yang dilakukan sederhana namun amat menghibur. Tergantung dari situasinya, banyak hal kecil-kecil bisa kita lakukan, dan biasanya makin praktikal makin baik pula. Hal-hal kecil seperti memasak, mencuci, berbelanja bersama merupakan cara-cara berharga untuk menunjukkan perhatian kita. Mengirim bunga atau kartu juga bagus. Mungkin bersantai dan bergurau bersama beberapa jam akan memberi kesegaran dari kejenuhan akibat himpitan keadaan. Amatilah hal apa yang diperlukan dan usahakan untuk memenuhinya. Jika anda tidak yakin, tanyakanlah.
Kehadiran anda saja sudah merupakan pernyataan dari perhatian anda kepadanya. Orang yang remuk hati sering memerlukan kesendirian, namun kesepian terus-menerus tidaklah sehat. Jadi bersikaplah sewajarnya dan ekspresikan diri anda secara sederhana. Allah mungkin memberi anda kata-kata untuk memberi semangat, atau ayat-ayat Alkitab. Namun sepatah kata untuk menyatakan anda ikut bersedih atas penyakitnya, atau turut berduka atas meninggalnya seorang anggota keluarga, seringkali cukup berarti asal diucapkan dengan tulus. Banyak bicara tidak ada gunanya. Banyak orang ingin berbincang tentang apa yang telah terjadi, tentang masa lalu, atau ingin berdoa. Berbicara merupakan sejenis cara pengobatan. Biarkan mereka yang menentukan kapan memulai pembicaraan ini; biarkan juga mereka yang membatasi / menyudahi pembicaraan itu, dan berhati-hatilah jangan mendesak. Jadilah pendengar yang bijak dan simpati. Mungkin mereka hanya perlu pundak tempat menangis.
Hati-hatilah, jangan memaksa membahas masa lalu seseorang bila secara emosi ia belum siap. Biarlah hal itu terjadi menurut waktu Allah, bukan menurut jadwal anda. Jika seseorang "patah", kita mungkin perlu mendorongnya untuk tetap "maju terus pantang mundur", namun lebih perlu lagi adalah membantunya jalan dalam arah yang benar, ketimbang seberapa cepat mereka maju. Seorang temanku ditinggal mati oleh putrinya. Setelah beberapa bulan, orang-orang yang segereja dengannya mendesak agar ia berhenti bersedih, membuang kenangan-kenangan bersama putrinya dan bersukacita karena putrinya kini ada di surga. Untuk menghindari tekanan dan rasa bersalah, akhirnya ia keluar dari gereja itu. Ia memang bertanggungjawab atas keputusannya keluar dari gereja itu, namun ketidakpekaan jemaat itu telah mempengaruhi keputusannya secara negatif. Allah ingin kita menolong mereka yang terluka dan bergumul, bukan menghindarkannya.
Kesembuhan yang menyeluruh dapat memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Hal ini tergantung situasinya. Jadi jangan mundur dan berhenti pada kunjungan pertama! Mungkin anda tercengang bahwa hal-hal sepele yang kusebutkan dapat benar-benar menolong orang itu. Namun hal-hal "sepele" menurut anda bukanlah hal sepele bagi orang yang sedang dalam pergumulan. Dikatakan kita harus "bertolong-tolongan menanggung beban" (Galatia 6:2) dan kadang-kadang kita membawa lebih banyak penghiburan daripada yang kita sadari.
Pada jalan menuju Kalvari, Yesus memerlukan bantuan untuk memikul salib. Dalam Yohanes 19:17 ditulis, "...sambil memikul salib-Nya Ia pergi..." Dalam Matius 27: 32 ditulis, "ketika mereka berjalan ke luar kota, mereka berjumpa dengan seorang dari Kirene yang bernama Simon. Orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus". Aku membayangkannya demikian: Yesus dibawa dari Praetorium, dan kayu palang itu terikat pada tangan-Nya. Ia baru saja semalaman dipukuli, disiksa dan kehilangan banyak darah, sehingga Ia terjatuh-jatuh memikul kayu salib itu. Karena terikat pada kayu salib itu, Ia tidak dapat menggunakan tangan-Nya untuk menahan tubuh ketika terjatuh, sehingga kadang-kadang muka-Nya menyentuh tanah menahan berat kayu salib itu. Segera jelas bahwa Ia tidak dapat memikul kayu salib itu tanpa bantuan orang lain, jadi Simon dipaksa untuk memikulnya. Kini Yesus dapat memakai tangan-Nya untuk menahan tubuh-Nya ketika terjatuh. Allah bisa saja meniadakan beban berat itu, namun di sini Ia memberi teladan bagi kita dengan memilih seorang yang membantu menahan beban itu. Ketika Simon memikul salib itu, ia membantu Yesus ketika terjatuh sehingga Ia dapat berjalan mencapai bukit Kalvari. Yesus tidak meminta bantuan karena Ia bermaksud menanggung beban-Nya, namun Allah Bapalah yang ingin memberi pertolongan itu.
Kita sebagai anggota masyarakat orang percaya juga mengalami saat-saat jatuh bangun. Hari itu Simon sedang lewat di jalan itu, tidak terlintas olehnya bahwa ia akan memikul salib... namun Allah memakainya dalam tugas yang sulit dan berat ini. Bahkan mungkin bantuannya menolong sehingga Yesus tidak wafat sebelum waktunya. Simon ikut berperan dalam drama paling ajaib sepanjang sejarah: kematian dan kebangkitan Anak Allah. Simon mungkin tidak sadar kayu salib Siapa yang ia pikul hari itu, dan bagaimana tindakannya terekam sampai kekekalan.
Marilah kita mengijinkan Allah "memaksa" kita terjun dalam pelayanan, dan seperti Simon, kita menolong mereka yang terjatuh dan menanggung beban yang Ia letakkan sepanjang jalan kita (bahkan meskipun kita tidak menduga bebannya). Yesus diurapi untuk membalut / merawat orang yang remuk hatinya. Kita perlu urapan yang sama dalam kehidupan kita. Jika kita mengijinkan Allah memakai kita seperti ini, maka dunia tidak akan sama... dan kita pun akan diubahkan.***
Sumber:
Green, Melody. 1987. "Binding Up the Brokenhearted". Last Days Ministries. Lyndale. TX. USA. LD#88.