visit us: www.m.bagimunegeri.com
Pemerkosaan adalah hal yang sulit dan berat dibicarakan terutama bagi wanita yang menjadi korban. Bahkan perkosaan sering dijadikan alasan bagi tindakan pengguguran kandungan atau aborsi / abortus, sehingga kita perlu membahasnya lebih dalam.
Kehamilan sebagai akibat perkosaan adalah hal yang amat jarang terjadi, namun kadang-kadang hal ini memang terjadi. Tetapi... bagaimana jika kehamilan terjadi akibat suatu perkosaan? Apakah korban perkosaan harus meneruskan kehamilan sampai kelahiran bayinya? Bagaimana dengan anak yang dilahirkan sebagai hasil atau akibat perkosaan? Bagaimana jika ia kelak mengetahui asal-usul dirinya? Apakah aborsi merupakan pemecahan masalah yang paling gampang?
Dalam artikel ini kami menyajikan kisah tiga orang wanita yang menghadapi pertanyaan di atas. Mereka bertiga diperkosa dan hamil karena perkosaan, namun setiap orang memilih hal yang berbeda. Kami amat menghargai niat mereka yang bersedia mengupas kisah pedih yang amat melukai mereka demi berbagi kepada kita semua.
Pertama, mari kita menyimak topik perkosaan.
Kita semua tentu mendengar argumen bahwa abortus atau pengguguran kandungan haruslah disahkan sehingga mereka yang menjadi korban perkosaan dan 'incest' (kekerasan seksual dalam satu keluarga) tidak dipaksa untuk hamil karena ketidakadilan yang mereka alami. Namun pendukung dan pelaku aborsi tidak sungguh-sungguh mencari yang terbaik bagi para korban, sebaliknya mereka hanya mencoba memanipulasi subjek emosional ini demi keuntungan mereka.
Dulu di negara kami (AS), para pendukung aborsi membuat sederetan alasan pembenaran aborsi karena perkosaan. Jika pihak yang menentang aborsi bertanya, "Benarkah kita mengijinkan aborsi hanya karena alasan perkosaan? Apakah anda juga setuju untuk mengakhiri sebuah kehidupan janin yang terjadi demi 'kenikmatan seks'? Maka para pendukung aborsi akan tetap mendesak aborsi sebagai hal yang legal bagi setiap orang, artinya disini kita melihat bahwa alasan yang sebenarnya bukanlah perkosaan.
Kami tidak bermaksud memandang enteng trauma, keresahan, rasa bersalah, dan ketidakadilan dari suatu perkosaan, ataupun kesulitan dari para korban yang menghadapi kehamilan akibat perkosaan. Namun kita disini melihat gambaran keliru dan menyesatkan yang telah diberikan kepada publik, sementara akibat emosional yang besar dan fakta yang sebenarnya justru terlupakan.
Apapun yang pernah anda dengar sebelumnya, ketahuilah bahwa kehamilan karena perkosaan adalah hal yang amat sangat jarang terjadi. Sebuah penelitian di Washington, D.C. menunjukkan bahwa hanya terjadi satu kehamilan dari lebih dari 300 kasus perkosaan. Penelitian yang sama di Chicago menunjukkan tidak ada kehamilan akibat perkosaan dalam sembilan tahun terakhir. (1). Lebih dari itu, kurang dari 1% wanita yang menjadi hamil karena perkosaan (2). Hanya satu dari 25.000 kasus aborsi dilakukan karena kehamilan akibat perkosaan. Lebih dari 98% kasus aborsi dilakukan hanya karena alasan sang ibu tidak menginginkan bayinya (3).
Perdebatan tentang perkosaan bukan hal baru. Di Amerika Serikat, hal ini membawa ke suatu keputusan Mahkamah Agung pada tahun 1973 yang mengesahkan aborsi. Suatu kasus perkosaan seorang wanita yang menjadi hamil akibat perkosaan oleh sebuah gerombolan anak muda dibawa ke Mahkamah Agung. Pengajuan aborsi ke pengadilan Texas ditolak, namun penasihat hukum membantunya mengajukan banding ke Mahkamah Agung, dan ia menang.
Celakanya, kebanyakan orang tidak sadar bahwa jatuhnya keputusan ini terlambat, karena wanita ini, namanya Jane Roe, telah melahirkan bayi dengan selamat, dan bayi ini kemudian diadopsi. Anak ini masih hidup sampai hari ini, dan pastilah mempunyai komentar khusus tentang Mahkamah Agung!
Meskipun sebagian orang merasa ada alasan yang kuat bagi aborsi karena perkosaan dan pelecehan seksual dalam keluarga, namun kebanyakan orang tidak berpikir matang dalam memutuskan aborsi. Jika ditanya, "Haruskah makhluk tak berdosa dibunuh karena tindakan kriminal orang lain?" maka responnya hampir tanpa keraguan, "Tentu tidak!" Namun karena "pembenaran" aborsi untuk kehamilan akibat perkosaan, gerbang aborsi terbuka lebar, dan banjir darah atas 16 juta janin tak berdosa tertumpahlah.
Sudah lama waktu berlalu sejak perkosaan dijadikan alasan pembenaran untuk suatu tindakan pengguguran kandungan, namun issue yang sejati adalah: apakah adil mengambil nyawa seorang anak tak berdosa?
Meskipun amat tidak adil dan mengerikannya suatu perkosaan, namun kita tidak pernah bisa membenarkan pembunuhan atas nyawa manusia tak bersalah demi untuk mengurangi beban mental atau meredakan kepedihan emosi suatu trauma perkosaan.
Wanita yang diperkosa adalah korban dari suatu perbuatan kejam. Jika ia mengakhiri kehamilannya, apakah hal ini mendatangkan keadilan baginya? Tentu tidak. Lalu bagaimana? Membunuh anaknya? Apakah hal ini membuat terjadinya keadilan kembali? Tidak.
Memang tidak adil bagi seorang wanita ketika ia hamil dari pemerkosanya. Namun ketidakadilan paling besar justru ketika membunuh anak yang tak bersalah. Namun sayangnya, ketidakadilan tidak bisa dihindari. Kita harus melakukan yang terbaik dalam menyelamatkan mereka yang tertimpa situasi ini - mengampuni yang bersalah, dan membantu yang tak bersalah.
Kalau ditelaah dari pihak korban perkosaan, trauma emosional yang ia alami tidaklah berkurang karena aborsi, malahan hal ini hanya menambah pengalaman kekerasan lainnya, yakni aborsi itu sendiri. Suatu penelitian menyimpulkan: Pada mayoritas kasus, problem-problem kehamilan sang korban bersumber lebih besar akibat dari trauma perkosaan ketimbang dari kehamilannya tsb. (4).
Kita harus menyampaikan kasih Allah bagi sang korban, menyodorkan belas kasihan dan dukungan bagi kebutuhannya. Pada kasus yang sebenarnya jarang terjadi, dimana terjadi kehamilan akibat perkosaan, maka dukungan menjadi lebih penting. Namun kita juga harus membongkar kebohongan yang mengatakan bahwa aborsi adalah jalan keluar yang mudah. Seorang konselor yang berpengalaman mengatakan, "Aborsi tidak membalikkan kenyataan bahwa wanita itu telah diperkosa" (5)
(Ditulis oleh Sharon Bennett, diteliti oleh Bob Miller)
Aku pulang terlambat, dan bergegas melewati salju pada suatu sore di bulan Januari. Di tengah jalan menembus terowongan kira-kira satu tikungan dari rumahku, seorang pria muncul dari kegelapan dan mendorongku ke lantai.
"Awas, jangan berteriak, atau kau kubunuh kau!" Aku terbaring tak berdaya ketika ia melucuti pakaianku dan memperkosaku. Sebagai seorang gadis kurus ramping berusia 16 tahun, aku tidak sebanding dengannya. Ia mengancamku bahwa ia akan menguntitku jika aku menceritakan peristiwa ini kepada siapapun, jadi aku tergeletak tak bergerak dalam kesakitan dan kepala pusing ketika ia lenyap dalam kegelapan malam.
Setibanya di rumah, kudapati rumah kami kosong dan aku bergegas membersihkan diriku dengan mandi, dan berusaha mengusir rasa galau dan kotor yang mencekamku. Aku membuang pakaianku yang sobek, membenamkan diriku dalam bak mandi, menggosok-gosok kulitku sampai merah. Ketika ibuku sampai di rumah dari tempat bekerja, aku berbaring di ranjang dengan diam. Aku tidak berani menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi!
Esok paginya aku berusaha membuang perasaan kotor yang kurasakan, namun tidak juga berhasil. Aku kehilangan selera makan, dan dihantui mimpi buruk, dan tidak dapat memusatkan perhatianku ketika mengikuti pelajaran di sekolah. Aku terus menengok ke belakang, takut kalau-kalau ia datang lagi membuntutiku. Entah bagaimana aku berpikir bahwa Allah tidak mempedulikan aku. Mungkin pula Allah sedang menghukumku, demikian pikiranku saat itu. .
Awalnya aku tidak pernah berpikir akan terjadinya kehamilan. Selama empat bulan aku menolak kemungkinan itu. Aku mengatakan kepada diriku bahwa rasa tidak enak badan itu karena flu, dan aku tidak menstruasi karena goncangan jiwa. Namun pemeriksaan dokter akhirnya melenyapkan semua keraguan. Aku pulang dari konsultasi dokter itu dengan menangis pedih sepanjang jalan.
Meskipun aku tidak dapat menyembunyikan kenyataan bahwa aku hamil, namun aku tidak juga menceritakan kepada siapapun tentang perkosaan itu. Ibuku ditinggalkan oleh ayahku sebelum aku lahir, dan ia harus bekerja keras untuk menghidupi kami. Ibuku tidak bisa memahami kenapa sampai hal ini terjadi, dan kata-katanya tidak bisa menghibur luka kepedihan dan ketakutanku. Ibu dan aku tidak pernah merasa dekat, dan di saat seperti ini, aku merasa benar-benar semakin sendirian.
Sungguh aneh, mimpi burukku semakin berkurang ketika kurasakan gerakan bayi dalam perutku. Kehidupan baru yang sedang bersemi di dalam rahimku membawa secercah penghiburan dan kesembuhan dari kepedihan perkosaan itu. Bulan demi bulan berlalu, dan aku mulai berpikir bahwa anakku sedang mengisi kekosongan jiwaku yang selama ini kurasakan. Aku amat menanti tibanya hari saat aku akan menggendongnya dalam pelukanku.
Setelah 36 jam mengejan, akhirnya Robyn Linn lahir. Ia lahir sempurna dan amat cantik, dan tidak ada yang bisa meredupkan cintaku kepadanya! Ibu dan aku bekerja bergantian di pabrik, dan kami berbagi tugas mengurus Robyn. Aku tidak siap dengan kenyataan betapa beratnya mengurus bayi, misalnya harus sering memberi makan, setumpuk popok harus dicuci, dan harus bangun di tengah malam dalam kelelahan setelah bekerja seharian di pabrik.
Setahun kemudian ibuku dirawat karena kecemasan yang hebat. Karena aku tidak dapat merawat Robyn sendirian, maka ia dititipkan di panti asuhan. Aku boleh menengoknya tiap akhir minggu; namun karena letak panti cukup jauh dari rumah, maka aku tidak dapat menengoknya setiap minggu. Setiap kali aku datang berkunjung, aku merasa ia berubah amat cepat dan hal ini menakutkan aku. Aku takut ia diambil dariku selamanya, jadi aku menculiknya.
Aku masih amat muda usia untuk mengerti trauma yang dialami Robyn atas kelakuanku. Para pekerja sosial menolongku untuk mengerti betapa berat hal ini bagi Robyn. Segera kusadari bahwa hal terbaik yang bisa kulakukan adalah menyerahkannya demi kebaikannya. Pemikiran ini mengoyak hatiku, namun aku tahu bahwa tak ada yang lebih adil baginya daripada menyerahkannya.
Pamanku mengetahui ada sebuah keluarga yang sudah bertahun-tahun rindu memiliki anak. Jika aku dapat memberi mereka kebahagiaan memiliki seorang putri, sekaligus memberi Robyn sebuah keluarga yang harmonis, maka aku tidak mementingkan diri sendiri.
Robyn berusia 18 bulan ketika aku bertemu dengan orang tua baru bagi Robyn di Hari Ibu. Kami mengumpulkan semua milik Robyn, dan dengan air mata bercucuran, aku memberinya ciuman perpisahan. Aku mengerti bahwa aku tidak akan melihatnya lagi kecuali suatu hari ia datang menemuiku.
Itulah hal paling berat yang harus kulakukan. Aku menangis amat keras dan amat lama dan hampir-hampir menyesali keputusanku. Namun demi kepentingan anakku, aku tahu bahwa aku melakukan hal yang tepat. Cintaku amat besar untuknya sehingga aku berani menyerahkannya agar ia tumbuh dalam kebahagiaan dan terpelihara baik, dan aku menjalani hidupku dengan damai karenanya.
Pada tahun 1979, aku mulai mengenal Yesus Kristus dan mengalami kuasa Yesus yang mengubah hidupku. Aku belajar tentang kasih-Nya, juga terhadap pria yang tak kukenal yang pernah berbuat kejahatan kepadaku, juga bahwa Ia mengasihiku sejak dulu bahkan ketika kemalangan itu menimpaku. Hal ini membebaskan aku dari kebencian terhadap pemerkosa yang selama itu membebani jiwaku. Akhirnya aku mengerti akan kasih Kristus yang sudah mati baginya juga, dan bahwa Dia mengasihi pria itu sama seperti Dia mengasihiku, sehingga aku mesti mengampuninya dengan sepenuh hati dan mendoakan pria yang pernah menyerangku itu.
Tahun-tahun perpisahan dengan Robyn tidak meredupkan cintaku kepadanya, aku masih saja rindu menggendongnya dalam pelukanku. Ketika aku menemukan kasih Kristus, aku berdoa dengan sepenuh hati, entah bagaimana caranya, agar Robyn juga berjumpa Kristus.
Musim semi yang lalu, Robyn dan aku berjumpa untuk pertama kalinya setelah 26 tahun berpisah. Tak dapat kulukiskan betapa besar sukacitaku! Kami hanya dapat tersenyum dan saling pandang... Saat ini kami sedang membina hubungan erat satu sama lain. Sejujurnya ia sulit menerima kenyataan tentang ayahnya yang sebenarnya, namun hal ini tidak membuatnya pernah menyesali kelahirannya ke dunia. Hal yang luar biasa pada pertemuan pertama adalah ucapan Robyn yang pertama ia sampaikan, "Aku bersyukur sekali karena ibu tidak menggugurkan kandungan".
Aku bersyukur karena saat itu aborsi tidak legal. Betapapun beratnya menyerahkan Robyn untuk diadopsi, namun hatiku damai karena memutuskan yang terbaik baginya, meskipun hal itu amat tidak mudah bagiku. Aku dapat menjalani hidup dengan kenyataan bahwa aku pernah diperkosa, namun aku tidak akan menjalaninya dengan damai jika seandainya aku membunuh anakku".
Aku tidak setuju dengan penasihat yang menyetujui aborsi karena alasan kekerasan seperti perkosaan ataupun pelecehan seksual dalam rumah tangga. Satu tindakan kekerasan dan kejahatan tidak berarti membenarkan kejahatan lain. Dalam undang-undang, pemerkosa tidaklah dihukum dengan hukuman mati, jadi sungguh gila suatu pembenaran hukum terhadap hukuman mati dijatuhkan atas janin tak berdosa!
Robyn tidaklah berbeda atau kurang berharga dibandingkan dengan manusia lainnya. Aku kadang membayangkan Robyn dan putri-putriku yang lain (yang lahir dari pernikahanku) berdiri di hadapan orang-orang yang mendukung aborsi, dan aku ingin bertanya kepada mereka, "Apakah satu dari antara mereka ini layak mati karena cara ia dikandung ibunya, karena dosa ayahnya??"
Usiaku waktu itu 19 tahun, ketika perkosaan itu terjadi di Holywood, California. Aku merasa kotor, dimanfaatkan dan harga diriku hancur. Kurang dari 1% wanita yang hamil akibat perkosaan, namun aku adalah salah satu di antaranya. Lama sekali kusangkali kenyataan ini, namun ketika badanku makin berubah, aku sadar bahwa aku tak dapat menutupi kehamilan ini lebih lama. Kupikir pastilah ada jalan keluar yang mudah.
Aku baru saja diwawancarai untuk pekerjaan sebagai pramugari. Lebih dari kehancuran karirku, yang kutakuti adalah mengandung anak dari pria yang memperkosaku!
Ketika saudara perempuanku menyebut kata aborsi, sepertinya hal ini jalan keluar yang sempurna. Ketika itu aborsi masih ilegal, namun saudara perempuanku mengatur segalanya. Aku bertemu seorang pria di Griffith Park, dan kemudian ia membawaku dengan mata tertutup ke tempat praktek dokter itu. Namun dokter itu tidak mau melakukan aborsi karena aku sedang mengalami radang tenggorokan, dan jika infeksinya menjalar ke kandunganku maka nyawaku terancam. Jadi ia menasihatiku agar pulang ke rumah dan menjalani kehamilan ini.
Belakangan aku bertemu dengan seorang dokter yang penuh kasih sayang, dan ia membantuku untuk mengerti bahwa setiap kehidupan adalah berharga. Aku mulai jatuh cinta dan menerima anak dalam kandunganku, terutama ketika merasakan gerakannya dalam perutku. Aku mulai gembira dengan kehidupan baru yang sedang bersemi dalam rahimku, dan hampir lupa bagaimana awal kehamilan ini terjadi.
Ketika akhirnya hal ini kuceritakan kepada orang tuaku, ayahku terkejut dan terguncang bahwa aku hamil, lebih terkejut lagi ketika ia mengetahui bahwa aku hamil dari benih si pemerkosa. Dokter keluarga kami memperkenalkan ayah dengan Planned Parenthood, yang memberitahu kami bahwa aborsi adalah "satu-satunya jalan keluar". Mereka tidak memberikan pilihan lain. Aku mempercayai nasihat mereka bahwa mimpi burukku akan berakhir dan setelah aborsi itu aku akan dapat menjalani kehidupanku "seakan-akan hal ini tidak pernah terjadi".
Orang tuaku menghubungi penasihat hukum wilayah untuk memberi kesaksian terjadinya perkosaan sehingga aku bisa mendapatkan pengesahan aborsi. Ketika permohonan itu dikabulkan, usia kandunganku 22 minggu dan aku sudah memutuskan untuk memelihara anakku. Namun aku merasakan tekanan batin yang berat karena tekanan dari semua pihak, terutama orang tuaku, sehingga demi untuk menyenangkan hati mereka, akhirnya aku menyerah.
Tak pernah kulupakan hari dimana orang tuaku meninggalkan aku di rumah sakit sendirian. Aku merasa sendirian, kosong, dan terlupakan. Aku ingin lari kabur, namun aku tidak tahu harus ke mana dan kepada siapa. Hatiku tercabik. Bayiku akan segera mati dan aku yang menyerahkannya, namun aku takut tidak menyenangkan orang tuaku.
Dokter menyuruhku berbaring dan ia memasukkan larutan garam ke perutku. Aku berbaring dan berharap lebih baik aku mati saja. Aku mulai melewati proses bersalin, mengejan dan berharap aku mendapatkan bayiku hidup. Tak seorangpun menceritakan kepadaku seperti apa persalinan itu. Selama 18 jam aku melewati persalinan itu sendirian. Lalu dengan ditemani seorang wanita juru rawat yang masih muda, aku melahirkan bayi perempuanku ke dalam sebuah nampan. Ia sudah berbentuk dan sempurna, namun tetap diam dan senyap. Aku terkejut karena sebelumnya mereka mengatakan bahwa yang keluar nantinya hanyalah jaringan sel semata. Aduh, aku berharap ia masih hidup dan segera mulai menangis keras...
Aku merasakan suatu kekosongan yang tak dapat diisi oleh apapun... dan aku menemukan bahwa memori pengguguran kandungan terus menghantui... bahkan berlanjut lama setelah memori kekerasan perkosaan pudar... Selama tiga tahun berikutnya aku mengalami depresi berat dan mimpi buruk. Aku bermimpi melahirkan bayiku dan kemudian ada orang yang membawa kabur bayiku. Aku mendengar tangisnya dan mencarinya kemana-mana, namun tidak dapat menemukan bayiku. Aku hanya bisa mendengar suaran tangisnya bergema dari kejauhan...
Waktu berlalu dan sepertinya kenangan itu memudar. Aku menguburkannya dalam-dalam dan mengeraskan hatiku. Kebalikan dari nasihat yang diberikan kepadaku, kepedihan dari aborsi lebih sulit diatasi daripada trauma perkosaan itu sendiri. Perkosaan adalah suatu kekerasan kriminal terhadap aku sebagai korban tak berdosa. Aborsi adalah suatu pembunuhan terhadap anakku sendiri, dan aku ikut mendukungnya. Aku mencoba mengatakan kepada diriku sendiri bahwa ada alasan yang kuat atas keputusan aborsi itu, yakni karena aku diperkosa. Namun memikirkannya amat pedih bagiku, jadi aku menguburkan kebenaran ini.
Kemudian aku menikah dan memiliki dua orang anak lelaki. Ketika anak bungsuku berusia tiga tahun, aku dan suamiku mulai mengenal Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Penyembuhan terjadi pada banyak daerah kehidupanku, namun kesakitanku akibat aborsi masih kukubur dalam-dalam.... dan aku tidak mengijinkannya mempengaruhi diriku. Meskipun aku tidak akan memilih aborsi lagi bagi diriku, namun aku tidak menolaknya bagi orang lain. Namun setiap kali kudengar, aku merasa kepedihan yang dalam di hatiku. Aku tidak mau menghadapinya.
Beberapa tahun kemudian, aku didiagnosa terkena kanker rahim dan perlu dibedah untuk membuang rahimku... hal ini membuat impianku untuk memperoleh anak perempuan sirna. Akhirnya Allah membuka plester luka lamaku, dan Ia membawa rasa sakit dan duka atas kematian putriku kembali ke permukaan setelah sekian lama kupendam dalam-dalam. Aku merasa bersalah, dan pedih sekali luka hatiku sehingga aku sadar bahwa aku membutuhkan kesembuhan.
Awalnya aku marah dan marah karena akulah yang mengijinkan terjadinya aborsi itu, dan berpikir bahwa Allah sedang menghukumku untuk dosa di masa laluku itu. Amat berat bagiku menghadapi tanggung jawabku tsb. karena pada akhirnya, akulah orang yang memilih untuk mengijinkan diriku menjalani aborsi. Ada konsekuensi atas dosa. Kita menuai apa yang kita tabur. Namun ketika kuakui dosa-dosaku, Allah setia dan adil sehingga Ia mengampuni dosa-dosaku dan membuangnya jauh-jauh, sejauh timur dari barat. Dia Allah Maha Pengampun, namun aku masih saja bergumul dengan rasa bersalah di hatiku, dan sulit mengampuni diriku sendiri.
Beberapa tahun sebelum aku mendapat kanker, aku bermimpi mengadopsi anak perempuan bernama Hope, artinya Harapan. Allah mengingatkan aku akan hal ini setelah hysterectomy. Aku percaya Ia akan memberiku seorang anak perempuan.
Lima tahun kemudian, Hope benar-benar datang dalam keluarga kami, ketika itu ia berusia tiga minggu. Ia merupakan korban yang lolos dari aborsi. Meski aku tak pernah bertemu ibu kandungnya, aku mendoakannya setiap hari. Wanita itu telah membuat putriku hidup kembali, suatu hadiah yang amat berharga. Wanita itu memberi lebih, ia memberi harapan untuk Hope memperoleh keluarga, sesuatu yang ia tidak dapat berikan sendiri. Mula-mula aku berharap Hope menggantikan putriku yang hilang, namun segera aku sadar bahwa anak tidak bisa diganti apapun juga.
Allah mulai menyingkapkan area-area jiwaku yang perlu penyembuhan akibat aborsi itu. Kehancurannya lebih daripada yang disadari oleh kebanyakan orang. Secara fisik, tentunya aborsi adalah proses dimana janin dilepaskan dari rahim ibunya. Namun secara emosi, aku yakin sudah ada ikatan batin antara ibu dan anak, dan dengan demikian janin ini merupakan bagian dari jiwamu yang disobek dan dibuang. Bagian dari dirimu mati bersama janin yang dibuang itu.
Dukacita adalah proses utama yang perlu kulalui agar bisa sembuh dari luka batin akibat aborsi itu. Bagian dari proses duka ini merupakan cara kita mengenali janin kecil itu sebagai individu dan memberi nama kepadanya.
Aku tak pernah dapat melupakan saat kulihat bayiku terbaring tanpa nyawa di hadapanku, namun dengan anugerah kesembuhan dari Tuhan Yesus, aku tahu ia kini berada di surga. di pangkuan-Nya. Suatu hari kelak, aku akan berjumpa dengannya, anakku Jennifer yang tidak pernah diijinkan untuk tertawa dan menangis atau mendengar deru ombak dan merasakan hangatnya sinar matahari menerpa wajahnya serta mengalami suka dan duka kehidupan ini. Berikut ini adalah surat yang kutuis untuknya:
Ananda Jennifer,
Aku tahu saat-saat kau kukandung, meski aku berusaha keras mengabaikan keberadaanmu. Karena aku hamil kau sebagai akibat perkosaan, aku merasa sepi dan bingung. Mula-mula aku ingin melenyapkanmu. Namun ketika mulai kurasakan gerakanmu di dalam rahimku, aku menemukan diriku mulai menerima keberadaanmu.
Usiamu dua puluh dua minggu ketika ijin melakukan tindakan aborsi disahkan, dan aku memutuskan untuk tetap memeliharamu. Cintaku kepadamu sedang bersemi... namun akibat tekanan dari orang-orang sekitarku akhirnya aku menjalani pengguguran kandungan itu...
Bertahun-tahun kemudian tangismu terus menggema dalam mimpi-mimpiku sampai akhirnya kesembuhan terjadi. Kemudian aku memberimu nama dan mengijinkan kedukaan atas kepergianmu... Aku adalah korban dari keputusan yang salah akibat salah informasi. Sebagian dari diriku mati bersama kepergianmu...
Ketika kau menatapku dari surga, aku tahu kau mengampuniku seperti halnya aku belajar untuk mengampuni diriku sendiri. Sekarang ini aku sedang berjuang untuk membantu para wanita yang telah salah mengambil keputusan aborsi, dan mencegah para wanita lain mengambil keputusan yang salah. Penyembuhan batin hanya datang melalui kuasa kasih Tuhan Yesus.
Sampai jumpa, Jennifer. Aku sayang kau...
Aku tumbuh dalam keluarga yang membacakan ayat-ayat lkitab setiap kali santapan di meja makan keluarga dan pergi ke gereja tiga kali seminggu -- kami amat religius namun kami tidak memiliki hubungan yang sungguh-sungguh dengan Tuhan. Sebagai seorang gadis yang terjaga dalam keluarga yang mapan, pastilah mimpiku adalah bertemu dengan seorang pemuda yang sempurna dan memiliki kehidupan pernikahan yang sempurna pula. Namun semua mimpiku berubah menjadi mimpi buruk.
Aku tidak diijinkan bermain atau pergi menonton bioskop, namun suatu malam ketika usiaku 16 tahun aku membolos ke gereja dan pergi makan pizza dengan beberapa teman-teman wanita. Di kedai pizza, aku menerima tawaran menonton bioskop semobil dengan seorang pemuda yang tak kukenal. Dia baru saja mabuk berat, dan ketika di bioskop aku baru sadar bahwa ia baru keluar dari penjara. Ketika makin mabuk, marah-marahnya makin besar. Bioskop usai, namun ia tidak mengantarku pulang ke rumah, malahan menyetir mobilnya ke sebuah danau yang jauh dan sepi sehingga tak akan ada orang yang mendengar teriakanku... dan ia memperkosaku...
Kurapikan diriku sebisanya dan berjalan pulang ke rumah, sambil tak berhenti menangis. Rasanya aku sudah mati. Segalanya sudah hancur... laki-laki itu merampas sesuatu dariku yang tidak pernah bisa kuperoleh kembali... Lebih buruk lagi, kebandelanku membawa akibat buruk -- perkosaan itu. Karena aku tak pernah bergaul dengan anak-anak jalanan, maka aku membayangkan bahwa itu bukan perkosaan sungguhan, pastilah kesalahanku. Jadi aku menyembunyikan rasa bersalah dan rasa maluku.
Entah bagaimana aku tahu bahwa aku hamil. Sebulan demi sebulan berlalu dan aku menanti saat menstruasi yang tak kunjung tiba dengan putus asa dan takut. Dalam keputusasaan aku berseru kepada Allah dan berjanji macam-macam hal, namun sepertinya Allah tidak mengambil anak itu juga. Aborsi belum legal saat itu, jadi aku mencoba membunuh anak itu dengan caraku sendiri. Aku minum racun serangga, melompat tinggi agar jatuh, memukul perutku sekerasnya, namun semuanya tidak berhasil. Aku benci bayiku. Aku benci pria itu, dan lebih dari semuanya, aku benci diriku sendiri.
Ketika perutku bertambah besar, aku semakin takut. Aku memakai baju longgar untuk menyembunyikan perutku yang makin buncit, dan ketika pulang sekolah aku hampir pingsan karena sakit. Usahaku paling keras untuk menyembunyikan kejadian yang sebenarnya adalah ketika aku mencoba merancang fitnah pada seseorang lain dengan cara berkencan dengan seorang pemuda, dan moga aku dapat menyatakan bahwa ini adalah anaknya, dan membuat ia mungkin mau menikahiku.
Akhirnya, suatu hari setelah jam pelajaran usai, guru memanggil ibuku. Ketika menaiki tangga, saat itu aku memakai kaos sweater dan celana panjang saudara lelakiku, ibuku mengikuti aku dari belakang dan dengan frustrasi ia berteriak, "kamu seperti orang hamil!!" Aku tahu bahwa aku tak dapat menyembunyikannya lagi, "Ya, mama, betul".
Ayah berkata bahwa ia akan menemui keluarga lelaki itu dan menikahkan aku segera. Aku tahu ini bukan perbuatan pemuda itu, namun aku diam saja. Aku tak pernah melupakan malam itu, ketika pemuda itu berkunjung bersama ayah dan ibunya. Aku merasa amat malu ketika pemuda itu menjelaskan bahwa bayi itu tidak mungkin bayinya.
Ketika kisahku menyebar, orang-orang segereja menyalahkan aku sebagai anak perempuan yang tidak baik dan perlu dikirim jauh. Gosip merebak namun aku masih saja tidak menceritakan kejadian perkosaan yang sebenarnya menimpaku. Orang tuaku mengirimku ke panti ibu-ibu yang hamil luar nikah, letaknya ratusan mil jauhnya dari rumahku. Mereka mengatakan bahwa aku harus menyerahkan bayiku untuk diadopsi.
Aku merasa amat kesepian. Yang tersisa hanyalah si kecil dalam rahimku yang membuatku melewati kehidupan yang begitu jauh dari keluargaku. Minggu demi minggu berlalu dan ikatan batinku semakin kuat. Tendangan-tendangan kecil dalam perutku berasal dari anakku sendiri. Janin ini bukanlah lagi milik pria jahat yang memperkosaku.
Akhirnya aku melahirkan. Setiap kali kontraksi dimulai, yang bisa kupikir hanya berdoa dengan doa satu-satunya yang aku tahu, "Bapa kami yang di surga, dimuliakanlah NamaMu..." Setelah 27 jam mengejan, anak lelakiku lahir, dan kemudian segera akan diambil dariku sehingga aku tidak pernah akan melihatnya lagi.
Aku harus tinggal di panti itu sepuluh hari lagi, dan selama masa itu, aku hanya dapat berdiri dekat jendela ruang bayi asrama itu, memandangi anakku dari jendela. Aku ingin menggendongnya, memeluknya, sebelum ia diambil dariku. Namun mereka tidak mengijinkan hal itu, dan melarangku berdiri dekat jendela itu.
Ketika ayah dan ibuku tiba, hal pertama yang kukatakan adalah, "Daddy, apa kau ingin melihat cucu ayah?" Ia menjawab, "Tidak, aku tidak mau melihat atau apapun juga dengannya". Kupikir ia takut kalau ia melihat bayi itu maka ia akan membawanya pulang ke rumah. Ternyata aku salah sangka terhadap reaksinya. Ia menjadi marah besar dan segera pergi meninggalkan tempat itu.
Malam itu aku bermimpi suatu mimpi yang tidak mungkin terjadi: aku menggendong anakku. Aku terbangun dan duduk di ranjang dan berkata, "Ya, Tuhan, apapun terjadi, aku akan membawa bayiku pulang". Ketika kubaringkan diriku kembali, hatiku damai, dan tertidur nyenyak untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan.
Ketika kunjungan berikutnya, ayahku berjalan mendekat dan berkata, "Sayangku, kita akan membawa bayi itu pulang, tak peduli apa yang orang-orang katakan atau pikirkan tentang kau, kami akan mendukungmu". Aku telah memilih nama untuk bayiku, jadi kutaruh Patrick kecil di kursi belakang mobil dan kami sekeluarga pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, anggota keluarga lain menolak keras memelihara Patrick, dan memberitahu keberatan mereka karena ketidakjelasan asal-usul Patrick dan mencari-cari alasan lainnya. Aku bertahan selama 9 bulan dan kepahitan menguasai hatiku. Aku semakin tidak bisa mengampuni orang yang memperkosaku dan mereka yang menfitnahku. Kata-kata mereka merobek hatiku. Aku tidak dapat hidup dalam gunjingan mereka, jadi aku pindah ke California dan jatuh mengkonsumsi obat dan minuman keras. Segera hal yang mereka katakan tentang aku menjadi kenyataan.
Ketika Patrick berusia 2 1/2 tahun, aku bertemu Harris - sebuah jawaban doa. Ketika akan pulang dari panti wanita-hamil-luar-nikah setelah melahirkan Patrick, aku menengadah ke langit dan berdoa, "Ya, Allah, jika Engkau ada, kumohon, jika aku suatu hari menikah, biarlah pria itu mengasihi bayiku Patrick, lebih daripada ia mengasihiku." Begitulah yang terjadi. Harris jatuh cinta pada Patrick dan segera mereka menjadi seperti ayah dan anaknya. Ketika Harris meminangku kepada ayahku, pertama ia meminta Patrick, kemudian ia memintaku!
Namun pernikahanku amatlah berat. Harus kuakui sejujurnya, bahwa aku benci pria. Aku jatuh lebih dalam ketagihan obat dan minuman keras, dan hidupku hampir makin hancur. Akhirnya, setelah overdosis yang ketiga atau keempat, Allah menjangkauku. Aku sadar bahwa aku harus menyerahkan hidupku kepada Tuhan, jadi aku berseru kepada Allah.
Belas kasihan Allah menjangkauku dengan cara yang luar biasa. Kehidupanku diubahkan. Suatu ketika aku menjadi pecandu obat-obat terlarang, dan sekarang aku mengasihi Yesus dan lapar akan Firman Allah. Setahun kemudian Harris menyerahkan hidupnya kepada Allah, dan seluruh keluarga kami mengalami pemulihan. Kami dikaruniai dua orang putra lagi, dan kini mereka semua mengenal dan mengasihi Tuhan. Tentunya ada masa pasang surut, namun lewat semua itu Allah menunjukkan kasih setia dan pengampunan-Nya.
Patrick sekarang berusia 25 tahun, dan aku bersyukur bahwa aborsi tidaklah legal pada saat ia dikandung. Jika saat itu aborsi legal, aku tidak tahu pasti apa keputusan yang kuambil saat itu, namun aku bersyukur bahwa aku tidak memiliki pilihan tsb. Aku berdoa agar suatu ketika undang-undang pengesahan aborsi dicabut kembali. Kupikir Patrick dan aku adalah contoh klasik dari belas kasihan dan anugerah Allah, dan pemulihan yang Allah lakukan pada kasus perkosaan.
Setiap kehidupan amat berharga dan penting, nilainya tak dapat diukur dengan apapun, betapapun beratnya situasi dan lingkungannya. Allah memberi tiap orang suatu kontribusi yang unik, dan ketika satu kehidupan lenyap, kita semua kehilangan sesuatu. Jika Patrick tidak ada, maka ada orang-orang yang akan menderita, termasuk aku. Patricklah yang menantangku dan menolongku untuk mengampuni ayah kandungnya.
Saat ini aku bekerja sebagai konselor pada sebuah lembaga kehamilan-kritis, dan banyak kali wanita-wanita muda berkata kepadaku, "Tapi kau tidak akan dapat mengerti! Bagaimana mungkin kau bisa mengerti?" Aku dapat berbagi kisah nyata hidupku, bagaimana Allah mengubah situasi perkosaan menjadi kehidupan yang memuliakan Allah. Jika Ia dapat melakukannya untukku, maka tentu Ia dapat melakukannya untuk orang yang lain. Memang semua itu tidak mudah, namun aku amat bersyukur atas bagaimana Allah memulihkan kehidupanku.
Usiaku 18 tahun ketika aku mengetahui bahwa aku dikandung akibat perkosaan atas ibuku. Reaksi pertamaku adalah aku amat tergoncang. Aku tahu bahwa ibu belum menikah saat itu, namun aku selalu berpikir bahwa hubungannya dengan ayah adalah hal yang ia inginkan. Sebagai pemuda belia, aku merasa amat benci kepada ayah kandungku, karena ia meninggalkan aku dan ibuku. Aku merasa sakit dan ditolak oleh ayahku. Mengetahui kebenaran ini dengan cepat membangkitkan kebencianku, yang segera membakar hatiku dengan kepahitan kepadanya.
Setelah menyerahkan hidupku kepada Tuhan barulah aku menemukan damai dengan keberadaan diriku, dan damai dalam menjalani kehidupanku kelak. Damai itu datang ketika aku mengampuni ayah kandungku seperti Yesus telah mengampuniku.
Sebagai seorang anak yang lahir ke dunia ini akibat perkosaan, aku memiliki pandangan yang unik tentang aborsi. Jika aborsi sah pada saat aku dikandung ibuku, maka aku tidak akan hidup saat ini. Aku tidak akan memiliki kemungkinan untuk mencintai dan memberikan kehidupanku untuk sesamaku. Aku tidak akan memiliki kesempatan-kesempatan yang indah untuk membagikan kesaksianku ini tentunya. Jika ada orang bertanya kepadaku, "Bagaimana pendapatmu tentang perkosaan?" maka aku memiliki jawabannya!
Allah memberkatiku dengan seorang istri yang luar biasa, dan kami merasa Tuhan memanggil kami ke ladang misi. Allah telah menolongku dan menuntunku untuk lebih jauh daripada sekadar mengampuni ayahku, yakni mengasihi dia. Aku berharap suatu ketika bertemu dengannya. Mungkin kesaksian ini sampai di tangannya, dan hatinya tersentuh untuk menemuiku. Doaku agar ia juga akan datang kepada Allah dan mengenal kuasa kasih-Nya yang memulihkan hati yang hancur. ***
Sumber: Bennet, Sharon. 1986. "Raped and Pregnant - Three Womens Tell Their Stories" Lindale, Texas, USA: Last Days Ministries. Kode LD#082.